Laporan Pendahuluan BPH (Benigna Prostate Hiperplasia)

https://fbs.id/?ppu=3506263
definisi penyakit BPH

A.Pengertian
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan Dejong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

B.   Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), factor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1.    Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2.    Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsanganterbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3.    Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4.    Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5.    Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
C.    Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1.    Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a.    Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b.    Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2.    Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3.    Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak padanpasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.



D.   Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).















E.        Pathway

Perubahan Usia

                                    Perubahan kesimbangan estrogen dan Progesteron



                                                Testosteron menurun




Estrogen meningkat


Perubahan patologik anatomik


        BPH


Retensi pada leher buli-buli dan prostat meningkat

                        Obstruksi saluran kemih yang bermuara di VU
 



Kompensasi otot detruktor                                                     Dekompensasi otot detruktor



Spasme otot sfinkter              Penebalan dinding VU                       Retensi Urine



   Nyeri suprapublik                      Kontraksi otot                               Aliran urine ke ginjal

                                                                                                                  (refluks VU)

Gg. Rasa nyaman nyeri                Kesulitan berkemih

                                                                                                      Tekanan ureter ke ginjal

      Resiko infeksi            
                                                                                                      Kerusakan fungsi ginjal
                                                         Insisi prostat
 



Perdarahan            Perubahan Eliminasi                          Resiko                         Resiko

Berkemih                                      Infeksi             disfungsi seksual


Keseimbangan            Peregangan
Cairan terganggu
                                 Spasme otot VU

Resiko kekurangan        Nyeri(akut)
Volume cairan

(Mansjoer Arief, 2000, Long BC, 1996. Doengoes, 2000)

F.   Penatalaksanaan
1.    Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a.    Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b.    Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2.    Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :
a.    Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra
b.    Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c.    Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1)    Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2)    Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3)    Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3.    Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a.    Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah :
1)    Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
2)    Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3)    Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
b.    Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:


1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).



G.     Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1)    Laboratorium
a)    Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
b)    Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.
c)    Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
2)    Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi bulibuli dan volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
a)    Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
b)    Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
c)    Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.

H.      Pengkajian Fokus
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan Canobbio (2008) ada berbagai macam, meliputi :
a.    Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi.
b.    Riwayat penyakit sekarang Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine
c.    Riwayat penyakit dahulu Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat / hernia sebelumnya.
d.    Riwayat kesehatan keluarga Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH.
e.    Pola kesehatan fungsional
1)    Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia), kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
2)    Pola nutrisi dan metabolism
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
3)    Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4)    Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah
5)    Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obatobatan, penggunaan alkhohol.
6)    Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.


7)    Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8)    Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap perawatan luka operasi.

I.    Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker dan Canobbio (2008) adalah :
1.    Pre Operasi
a.    Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
b.    Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
c.    Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.
d.    Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.

2.    Post Operasi
a.    Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b.    Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada pembedahan
c.    Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler ( tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
d.    Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
e.    Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari pembedahan.
f.     Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

J.   Perencanaan keperawatan
Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), dan Tucker dan Canobbio (2008) adalah:
1.    Pra operasi
a.    Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.
Intervensi :
1)    Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba dirasakan
Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih.
2)    Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
3)    Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.
Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya deficit aliran darah keginjal menganggu kemampuanya untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
4)    Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea Suprapubik
5)    Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari
Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
6)    Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut kepenuruan ginjal total
7)    Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
8)    Kolaborasi pemberian obat :
·         Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui mukosa kedalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan relaksasi otot/menghilangkan spasme
·         Antibiotic dan antibakteri
Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
·         Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan merelaksasi otot polos prostat dan menurunkan tahanan terhadap aliran urine.
b.    Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien tampak rileks, mampu untuk tidur dan istirahat dengan tepat
Intervensi :
1)    Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan intervensi
2)    Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
3)    Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti, pijatan punggung : membantu pasien melakukan posisi yang nyaman: mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam: aktivitas terapeutik
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping
4)    Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot
5)    Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri ( analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian untuk mengetahui keefektivitasnya.
c.    Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : pasien tampak rileks.
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut
Intervensi :
1)    Damping pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.
2)    Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
3)    Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan
Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah
4)    Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan
Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.
d.    Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi. Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan
Intervensi :
1)    Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2)    Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan terapi
3)    Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit yang dideritanya
4)    Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan dilakukan
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya.
2.    Post operasi
a.    Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan : asupan sebanding dengan haluaran.
Intervensi :
1)    Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi berlangsung
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2)    Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa normalitas.
3)    Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut sehingga menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
4)    Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam hari setelah kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
5)    Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pascaoperasi
Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi kateter

c.    Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1)    Pasien mengatakan nyeri berkurang
2)    Ekspresi wajah pasien tenang
3)    Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4)    Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5)    Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1)    Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih sekitar kateter menunjukkan spasme kandung kemih.
2)    Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung  kemih.Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
3)    Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase system. Menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih
4)    Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.
5)    Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
·         Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan spasme dan nyeri
·         Propantelin bromide (pro-bantanin) Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja antikolinergik.

d.    Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
1)    Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan
2)    Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3)    Urine lancar lewat kateter
Intervensi :
1)    Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan.
2)    Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter .
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
3)    Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi .
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatic yang akan mengendapkan perdarahan
4)    Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rectal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan prostat
5)    Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .
Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan
6)    Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran Warna urine
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen.
e.    Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi Kriteria Hasil :
1)    Pasien tidak mengalami infeksi.
2)    Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3)    Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda syok.
Intervensi :
1)    Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2)    Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal
3)    Pertahankan posisi urinebag dibawah
Rasional : Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4)    Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
5)    Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
6)    Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
f.     Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu, menunjukan pemecahan masalah dan menunjukkan rentang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi :
1)    Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2)    Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi Seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong selama prosedur radikal.
3)    Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan transurethral/suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine keruh
4)    Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/continue aliran urinRasional : meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin dan fungsi seksual.
g.    Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan
Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi. Kriteria hasil :
·         Pasien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
·         Pasien mengungkapan sudah bisa tidur
·         Pasien mampu menjelaskan factor penghambat tidur .

Intervensi :
1)    Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan
2)    Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan
Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat
3)    Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan
4)    Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri/analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat dengan cukup .


















DAFTAR PUSTAKA
Johnson, M; Maas, M; Moorhead, S. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby: Philadelphia
Mansjoer, A, et all, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapis, Jakarta
McCloskey, J dan Bulechek, G. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC). Mosby: Philadelphia
Nanda (2000), Nursing Diagnosis: Prinsip-Prinsip dan Clasification, 2001-2002, Philadelphia, USA.
Smeltzer, S.C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Vol 2,  EGC, Jakarta
Anonim. 2012. Diakses 5 Mei 2012 pada http://www.scribd.com/doc/54979478/ASKEP-BPH

Anonym. 2010. http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/10/asuhan-keperawatan-benigna-prostat.html

Komentar